Pemerintah, Harapan, Suku Anak
Dalam Jambi
Suasana stand WARSI Jambi pada hari
ke dua, Festival Media Aji, Jambi 2019. Minggu (17/11/2019). Foto : Andik
Saputra.
Aku datang ke acara Festival Media Aji, Jambi 2019.
Ingin mengikuti workshop dan menengok beberapa stand. Namun, aku mendapat
kesempatan bertemu dengan salah seorang Suku Anak Dalam. Kami pun mengobrol.
Dia bercerita tentang kebakaran hutan. Walau tidak begitu luas, tetap ada. Kemudian
tentang makanan sehari-hari.
“Kalau dimakan sehari-hari, memang kalau dulu. Kami
bisa memanfaatkan umbi-umbian di dalam hutan. Tetapi, kalau saat ini, karna
hutan atau tempat perlindungan kita sudah dijadikan sawit oleh PT-PT. Jadi kami
tak bisa lagi memanfaatkan itu.” Ujar Tumenggung Ngilo.
Ia menambahkan, tak lagi menemukan bahan untuk
dimakan. Sekarang apa adanya. Mengutip berondolan sawit untuk dijual
hari-harian. Kalau dulu, ada buah-buahan. Masih berladang.
“Saat ini tidak bisa berladang, nggak bisa lagi.
Karna orang yang membabat hutan kita ini tidak ada perikemanusiaan. Langsung
dibabat habis. Sehingga kami tidak mempunyai apa-apa. Seperti itu pak.” Kata
Tumenggung Ngilo.
Kalau ada mesin pembabat hutan. Mereka tidak berani
mendekati mesin-mesin atau pun alat berat. Mereka bisa berani sekarang. Karna
banyak yang membantu mendekatkan sama orang-orang luar. Ada Warsi yang membantu
dan membina mereka. Kawan-kawan dari Warsi juga mengatur jam tidur mereka.
“Kalau jam tidur terus terang saja Pak. Kalau kita
masih susah belum punya makan. Itu kadang-kadang tak bisa tidur. Cari apa saja
yang di hutan. Entah cari kodok yang besar-besar. Kadang jam dua belas baru
tidur. Saat ini diatur tidurnya. Jam Sembilan atau Sepuluh sudah disuruh
tidur.” Ungkap Temenggung Ngilo.
Waktu aku bertanya, hutan yang baik seperti apa?
Katanya, hutan yang baik itu masih lebat dan besar-besar kayunya. Banyak
buah-buahan dan umbi-umbian. Itu hutan yang baik. Saat ini, hutan tempat
tinggal sebelumnya sudah habis total. Sekarang mereka menetap di sawit-sawit
orang ataupun PT. Ia berharap, kepada semuanya saja, agar tidak merusak
lingkungan.
“Kalau masih ada hutan di sekeliling kami. Harapan
kami jangan dirusak lagi. Itu seandainya masih ada hutan. Tapi kan hutan sudah
terlanjur hancur. Tidak bisa dipulihkan lagi. Kurasa tempat lain masih ada. Kalau
itu memang, aku mohon, mari kita saling lestarikan. Sama-sama kita jaga.
Walaupun orang biasa, orang PT, orang pemerintahan. Tolong dijaga.” Ujar
Tumenggung Ngilo.
Ia menambahkan, agar pemerintah yang sudah
berkecimpung di daerah yang tidak ada hutan. Tolong kebijakannya dibantu
bagaimana cara agar dapat bagian hak mereka. Dia juga mempunyai harapan untuk
semua orang.
“Kalau harapan kita sebenarnya. Mulai dari
orang-orang biasa sampai ke tingkat RT, RW, sampai ke kepresidenan. Kami mau
untuk bagaimana cara hidup ke depan dan anak cucu kami ini. Karna kami tak
punya hutan lagi, tak punya harapan lagi. Atau pendidikan anak-anak, tolong
dibantulah. Begitu harapan kami.” Tambahnya.
Pengajar Anak Rimba
Yohana (Juliana), seorang guru anak rimba. Kurang
lebih sudah setahun, dia berbagi pengetahuan tentang membaca, menulis,
menggambar, dan berhitung. Selama berhari-hari, ia mengikuti kebiasaan Suku
Anak Dalam. Perkara makan, minum, maupun mandi.
“Jadi mereka yang masak. Aku kan nggak rewel ya soal
makanan. Yang penting banyak micinnya udah. Aku suka aja. Jadi mereka masak
rebusan ya. Mereka rebus taruh micin banyak-banyak. Ya udah, aku makan aja.
Jadi apa yang mereka makan, aku makan.” Ungkap Yohana.
Aku pun bertanya cara mandi, apakah celup atau bagaimana?
“Ya tinggal celup juga. Ya ikut dengan mereka. Jadi
gimana dong? Mau cari kamar mandi? Nggak ada. Mereka buang airnya nggak boleh
di air. Kan harus gali. Ya udah gali aja, udah. Pertama-tama risih ya mas.
Maksudnya kayak nggak biasa. Setelah itu asyik mas. Saya bisa ngelewatinnya
setahun mas.”
Kemudian, untuk media mengajar anak-anak rimba.
Kalau yang di sawitan. Mereka berhitung menggunakan lidi pelepah-pelepah sawit.
Kalau di karetan. Dari alam itu bisa. Semua bisa. Sebagai pengajar, ia berharap
anak didiknya mempunyai pekerjaan yang baik.
“Harapanku. Jadi gini, aku kan ngajar anak-anak.
Kalau yang laki-laki itu, aku pengen jadi orang, atau jadi guru, atau
mengembangkan bakat. Misalnya, mereka banyak yang bakatnya menggambar,
kerajinan. Tapi kalau anak perempuannya. Aku pengen banget. Anak perempuannya
tahu kesehatan.”
Karna orang rimba sampai saat ini kalau hamil atau
penyakit dalam. Dia tidak memperbolehkan kita mengeceknya. Yohana berpikir,
ketika ada satu orang perempuan rimba yang tahu kesehatan. Itu lebih dekat
dengan mereka. Kalau untuk anak-anak itu. Semoga sekolahnya baik-baik saja.
Bersama kawan dari orang rimba.
Produk kerajinan Suku Anak Dalam.
Bersama pengajar anak rimba.
Karya anak rimba.