Rabu, 20 November 2019


Pemerintah, Harapan, Suku Anak Dalam Jambi



Suasana stand WARSI Jambi pada hari ke dua, Festival Media Aji, Jambi 2019. Minggu (17/11/2019). Foto : Andik Saputra.


Aku datang ke acara Festival Media Aji, Jambi 2019. Ingin mengikuti workshop dan menengok beberapa stand. Namun, aku mendapat kesempatan bertemu dengan salah seorang Suku Anak Dalam. Kami pun mengobrol. Dia bercerita tentang kebakaran hutan. Walau tidak begitu luas, tetap ada. Kemudian tentang makanan sehari-hari.
“Kalau dimakan sehari-hari, memang kalau dulu. Kami bisa memanfaatkan umbi-umbian di dalam hutan. Tetapi, kalau saat ini, karna hutan atau tempat perlindungan kita sudah dijadikan sawit oleh PT-PT. Jadi kami tak bisa lagi memanfaatkan itu.” Ujar Tumenggung Ngilo.
Ia menambahkan, tak lagi menemukan bahan untuk dimakan. Sekarang apa adanya. Mengutip berondolan sawit untuk dijual hari-harian. Kalau dulu, ada buah-buahan. Masih berladang.
“Saat ini tidak bisa berladang, nggak bisa lagi. Karna orang yang membabat hutan kita ini tidak ada perikemanusiaan. Langsung dibabat habis. Sehingga kami tidak mempunyai apa-apa. Seperti itu pak.” Kata Tumenggung Ngilo.
Kalau ada mesin pembabat hutan. Mereka tidak berani mendekati mesin-mesin atau pun alat berat. Mereka bisa berani sekarang. Karna banyak yang membantu mendekatkan sama orang-orang luar. Ada Warsi yang membantu dan membina mereka. Kawan-kawan dari Warsi juga mengatur jam tidur mereka.
“Kalau jam tidur terus terang saja Pak. Kalau kita masih susah belum punya makan. Itu kadang-kadang tak bisa tidur. Cari apa saja yang di hutan. Entah cari kodok yang besar-besar. Kadang jam dua belas baru tidur. Saat ini diatur tidurnya. Jam Sembilan atau Sepuluh sudah disuruh tidur.” Ungkap Temenggung Ngilo.
Waktu aku bertanya, hutan yang baik seperti apa? Katanya, hutan yang baik itu masih lebat dan besar-besar kayunya. Banyak buah-buahan dan umbi-umbian. Itu hutan yang baik. Saat ini, hutan tempat tinggal sebelumnya sudah habis total. Sekarang mereka menetap di sawit-sawit orang ataupun PT. Ia berharap, kepada semuanya saja, agar tidak merusak lingkungan.
“Kalau masih ada hutan di sekeliling kami. Harapan kami jangan dirusak lagi. Itu seandainya masih ada hutan. Tapi kan hutan sudah terlanjur hancur. Tidak bisa dipulihkan lagi. Kurasa tempat lain masih ada. Kalau itu memang, aku mohon, mari kita saling lestarikan. Sama-sama kita jaga. Walaupun orang biasa, orang PT, orang pemerintahan. Tolong dijaga.” Ujar Tumenggung Ngilo.
Ia menambahkan, agar pemerintah yang sudah berkecimpung di daerah yang tidak ada hutan. Tolong kebijakannya dibantu bagaimana cara agar dapat bagian hak mereka. Dia juga mempunyai harapan untuk semua orang.
“Kalau harapan kita sebenarnya. Mulai dari orang-orang biasa sampai ke tingkat RT, RW, sampai ke kepresidenan. Kami mau untuk bagaimana cara hidup ke depan dan anak cucu kami ini. Karna kami tak punya hutan lagi, tak punya harapan lagi. Atau pendidikan anak-anak, tolong dibantulah. Begitu harapan kami.” Tambahnya.

Pengajar Anak Rimba

Yohana (Juliana), seorang guru anak rimba. Kurang lebih sudah setahun, dia berbagi pengetahuan tentang membaca, menulis, menggambar, dan berhitung. Selama berhari-hari, ia mengikuti kebiasaan Suku Anak Dalam. Perkara makan, minum, maupun mandi.
“Jadi mereka yang masak. Aku kan nggak rewel ya soal makanan. Yang penting banyak micinnya udah. Aku suka aja. Jadi mereka masak rebusan ya. Mereka rebus taruh micin banyak-banyak. Ya udah, aku makan aja. Jadi apa yang mereka makan, aku makan.” Ungkap Yohana.

Aku pun bertanya cara mandi, apakah celup atau bagaimana?

“Ya tinggal celup juga. Ya ikut dengan mereka. Jadi gimana dong? Mau cari kamar mandi? Nggak ada. Mereka buang airnya nggak boleh di air. Kan harus gali. Ya udah gali aja, udah. Pertama-tama risih ya mas. Maksudnya kayak nggak biasa. Setelah itu asyik mas. Saya bisa ngelewatinnya setahun mas.”
Kemudian, untuk media mengajar anak-anak rimba. Kalau yang di sawitan. Mereka berhitung menggunakan lidi pelepah-pelepah sawit. Kalau di karetan. Dari alam itu bisa. Semua bisa. Sebagai pengajar, ia berharap anak didiknya mempunyai pekerjaan yang baik.
“Harapanku. Jadi gini, aku kan ngajar anak-anak. Kalau yang laki-laki itu, aku pengen jadi orang, atau jadi guru, atau mengembangkan bakat. Misalnya, mereka banyak yang bakatnya menggambar, kerajinan. Tapi kalau anak perempuannya. Aku pengen banget. Anak perempuannya tahu kesehatan.”
Karna orang rimba sampai saat ini kalau hamil atau penyakit dalam. Dia tidak memperbolehkan kita mengeceknya. Yohana berpikir, ketika ada satu orang perempuan rimba yang tahu kesehatan. Itu lebih dekat dengan mereka. Kalau untuk anak-anak itu. Semoga sekolahnya baik-baik saja.




Bersama kawan dari orang rimba.


Produk kerajinan Suku Anak Dalam.


Bersama pengajar anak rimba.


Karya anak rimba.






Aku, Festival Media Aji, Jambi 2019


Reklame, Festival Media Aji, Jambi 2019. Sabtu (16/11/2019)
Foto : Andik Saputra.

Pertama kali aku bertemu dengan Festival Media Aji, 2013. Waktu itu acaranya berlangsung di Yogyakarta. Banyak acara keren dan seru. Ada pameran stand dari perwakilan AJI setiap provinsi. Ada pelatihan, seminar, dan lain sebagainya.
2014, Festival Media Aji pindah ke Surabaya. Aku pun yang masih di Yogyakarta berkunjung ke sana. Dua malam aku istirahat di masjid. Acaranya tak berbeda jauh dengan di Yogyakarta. Keren dan seru.
2015 ada di Riau, 2016 di Jakarta Selatan, 2017 di Surakarta, 2018 di Pontianak. Aku tidak hadir. Lantaran, terlalu sibuk dengan diri sendiri. Dan, beberapa waktu yang lalu. Acaranya di Jambi. Tentu saja, aku mengusahakan untuk datang.
Berangkat lepas shubuh, dari Riau menuju kota Jambi. Karna ada beberapa masalah di jalan. Aku tiba di tempat acara hampir jam dua belas siang. Jadinya, aku ketinggalan talkshow Pemeliharaan Cagar Budaya di Era Big Data.
Beberapa menit lepas sembahyang dhuhur dan makan siang. Aku mengikuti workshop Meliput Isu Lingkungan : Hutan dan Eksistensi Orang Rimba. Pembicara, Irma Tambunan dan Robert Aritonang. Dan, ternyata aku baru tahu tentang Suku Anak Dalam, yang tinggal di hutan Jambi. Hutan mereka mulai habis. Karna pembangunan dan perkebunan.
Workshop selanjutnya, Bincang Vlog, pembicara Phesi Ester Julikawati. Ia menyarankan agar menjadikan diri kita siapa dulu. Sebelum terjun ke dunia vlogger. Berangkat dari yang kita sukai bila hendak membuat konten.
Untuk hari pertama Festival Media Aji, Jambi 2019. Ada banyak acara. Dan, kita harus pilih yang mana. Untuk hari kedua, aku mengikuti workshop UMKM Digital Marketing. Pembicara Michael Say (VP Corporate Affairs Gojek). Aku mencatat beberapa hal darinya. Antara lain, jeli melihat peluang dan cepat memanfaatkan peluang tersebut. Siapa pelanggan kita? Bagaimana kita mau jualan?
Apapun bisnis kita, manfaatkan teknologi. Hemat waktu, tekan biaya, perbaiki layanan, lebih akuntabel, promosi dan penjualan, dapatkan reputasi. Lepas acara, aku mengunjungi stand Aji Jakarta, Aji Lampung, Aji Pontianak, dan stand-stand lainnya. Terima kasih, Festival Media Aji, Jambi 2019. Dan untuk kawan-kawan Aliansi Jurnalis Indonesia. Semoga mengawal kebijakan, agar tetap pada kebenaran dan kejujuran. Sekali lagi terimakasih untuk seluruh Aliansi Jurnalis Indonesia.




Stand AJI Pontianak.


Stand AJI YOGYAKARTA.


Workshop Hutan dan Eksistensi Orang Rimba.


Lelaki berkaos hitam dan orange, kawan dari orang rimba.


Tambah pengetahuan, dari Irma Tambunan dan Robert Aritonang.


Semacam kariaktur sindirian politik.


Pameran foto.


Workshop UMKM dan Digital Marketing.