Rabu, 20 November 2019


Pemerintah, Harapan, Suku Anak Dalam Jambi



Suasana stand WARSI Jambi pada hari ke dua, Festival Media Aji, Jambi 2019. Minggu (17/11/2019). Foto : Andik Saputra.


Aku datang ke acara Festival Media Aji, Jambi 2019. Ingin mengikuti workshop dan menengok beberapa stand. Namun, aku mendapat kesempatan bertemu dengan salah seorang Suku Anak Dalam. Kami pun mengobrol. Dia bercerita tentang kebakaran hutan. Walau tidak begitu luas, tetap ada. Kemudian tentang makanan sehari-hari.
“Kalau dimakan sehari-hari, memang kalau dulu. Kami bisa memanfaatkan umbi-umbian di dalam hutan. Tetapi, kalau saat ini, karna hutan atau tempat perlindungan kita sudah dijadikan sawit oleh PT-PT. Jadi kami tak bisa lagi memanfaatkan itu.” Ujar Tumenggung Ngilo.
Ia menambahkan, tak lagi menemukan bahan untuk dimakan. Sekarang apa adanya. Mengutip berondolan sawit untuk dijual hari-harian. Kalau dulu, ada buah-buahan. Masih berladang.
“Saat ini tidak bisa berladang, nggak bisa lagi. Karna orang yang membabat hutan kita ini tidak ada perikemanusiaan. Langsung dibabat habis. Sehingga kami tidak mempunyai apa-apa. Seperti itu pak.” Kata Tumenggung Ngilo.
Kalau ada mesin pembabat hutan. Mereka tidak berani mendekati mesin-mesin atau pun alat berat. Mereka bisa berani sekarang. Karna banyak yang membantu mendekatkan sama orang-orang luar. Ada Warsi yang membantu dan membina mereka. Kawan-kawan dari Warsi juga mengatur jam tidur mereka.
“Kalau jam tidur terus terang saja Pak. Kalau kita masih susah belum punya makan. Itu kadang-kadang tak bisa tidur. Cari apa saja yang di hutan. Entah cari kodok yang besar-besar. Kadang jam dua belas baru tidur. Saat ini diatur tidurnya. Jam Sembilan atau Sepuluh sudah disuruh tidur.” Ungkap Temenggung Ngilo.
Waktu aku bertanya, hutan yang baik seperti apa? Katanya, hutan yang baik itu masih lebat dan besar-besar kayunya. Banyak buah-buahan dan umbi-umbian. Itu hutan yang baik. Saat ini, hutan tempat tinggal sebelumnya sudah habis total. Sekarang mereka menetap di sawit-sawit orang ataupun PT. Ia berharap, kepada semuanya saja, agar tidak merusak lingkungan.
“Kalau masih ada hutan di sekeliling kami. Harapan kami jangan dirusak lagi. Itu seandainya masih ada hutan. Tapi kan hutan sudah terlanjur hancur. Tidak bisa dipulihkan lagi. Kurasa tempat lain masih ada. Kalau itu memang, aku mohon, mari kita saling lestarikan. Sama-sama kita jaga. Walaupun orang biasa, orang PT, orang pemerintahan. Tolong dijaga.” Ujar Tumenggung Ngilo.
Ia menambahkan, agar pemerintah yang sudah berkecimpung di daerah yang tidak ada hutan. Tolong kebijakannya dibantu bagaimana cara agar dapat bagian hak mereka. Dia juga mempunyai harapan untuk semua orang.
“Kalau harapan kita sebenarnya. Mulai dari orang-orang biasa sampai ke tingkat RT, RW, sampai ke kepresidenan. Kami mau untuk bagaimana cara hidup ke depan dan anak cucu kami ini. Karna kami tak punya hutan lagi, tak punya harapan lagi. Atau pendidikan anak-anak, tolong dibantulah. Begitu harapan kami.” Tambahnya.

Pengajar Anak Rimba

Yohana (Juliana), seorang guru anak rimba. Kurang lebih sudah setahun, dia berbagi pengetahuan tentang membaca, menulis, menggambar, dan berhitung. Selama berhari-hari, ia mengikuti kebiasaan Suku Anak Dalam. Perkara makan, minum, maupun mandi.
“Jadi mereka yang masak. Aku kan nggak rewel ya soal makanan. Yang penting banyak micinnya udah. Aku suka aja. Jadi mereka masak rebusan ya. Mereka rebus taruh micin banyak-banyak. Ya udah, aku makan aja. Jadi apa yang mereka makan, aku makan.” Ungkap Yohana.

Aku pun bertanya cara mandi, apakah celup atau bagaimana?

“Ya tinggal celup juga. Ya ikut dengan mereka. Jadi gimana dong? Mau cari kamar mandi? Nggak ada. Mereka buang airnya nggak boleh di air. Kan harus gali. Ya udah gali aja, udah. Pertama-tama risih ya mas. Maksudnya kayak nggak biasa. Setelah itu asyik mas. Saya bisa ngelewatinnya setahun mas.”
Kemudian, untuk media mengajar anak-anak rimba. Kalau yang di sawitan. Mereka berhitung menggunakan lidi pelepah-pelepah sawit. Kalau di karetan. Dari alam itu bisa. Semua bisa. Sebagai pengajar, ia berharap anak didiknya mempunyai pekerjaan yang baik.
“Harapanku. Jadi gini, aku kan ngajar anak-anak. Kalau yang laki-laki itu, aku pengen jadi orang, atau jadi guru, atau mengembangkan bakat. Misalnya, mereka banyak yang bakatnya menggambar, kerajinan. Tapi kalau anak perempuannya. Aku pengen banget. Anak perempuannya tahu kesehatan.”
Karna orang rimba sampai saat ini kalau hamil atau penyakit dalam. Dia tidak memperbolehkan kita mengeceknya. Yohana berpikir, ketika ada satu orang perempuan rimba yang tahu kesehatan. Itu lebih dekat dengan mereka. Kalau untuk anak-anak itu. Semoga sekolahnya baik-baik saja.




Bersama kawan dari orang rimba.


Produk kerajinan Suku Anak Dalam.


Bersama pengajar anak rimba.


Karya anak rimba.






Aku, Festival Media Aji, Jambi 2019


Reklame, Festival Media Aji, Jambi 2019. Sabtu (16/11/2019)
Foto : Andik Saputra.

Pertama kali aku bertemu dengan Festival Media Aji, 2013. Waktu itu acaranya berlangsung di Yogyakarta. Banyak acara keren dan seru. Ada pameran stand dari perwakilan AJI setiap provinsi. Ada pelatihan, seminar, dan lain sebagainya.
2014, Festival Media Aji pindah ke Surabaya. Aku pun yang masih di Yogyakarta berkunjung ke sana. Dua malam aku istirahat di masjid. Acaranya tak berbeda jauh dengan di Yogyakarta. Keren dan seru.
2015 ada di Riau, 2016 di Jakarta Selatan, 2017 di Surakarta, 2018 di Pontianak. Aku tidak hadir. Lantaran, terlalu sibuk dengan diri sendiri. Dan, beberapa waktu yang lalu. Acaranya di Jambi. Tentu saja, aku mengusahakan untuk datang.
Berangkat lepas shubuh, dari Riau menuju kota Jambi. Karna ada beberapa masalah di jalan. Aku tiba di tempat acara hampir jam dua belas siang. Jadinya, aku ketinggalan talkshow Pemeliharaan Cagar Budaya di Era Big Data.
Beberapa menit lepas sembahyang dhuhur dan makan siang. Aku mengikuti workshop Meliput Isu Lingkungan : Hutan dan Eksistensi Orang Rimba. Pembicara, Irma Tambunan dan Robert Aritonang. Dan, ternyata aku baru tahu tentang Suku Anak Dalam, yang tinggal di hutan Jambi. Hutan mereka mulai habis. Karna pembangunan dan perkebunan.
Workshop selanjutnya, Bincang Vlog, pembicara Phesi Ester Julikawati. Ia menyarankan agar menjadikan diri kita siapa dulu. Sebelum terjun ke dunia vlogger. Berangkat dari yang kita sukai bila hendak membuat konten.
Untuk hari pertama Festival Media Aji, Jambi 2019. Ada banyak acara. Dan, kita harus pilih yang mana. Untuk hari kedua, aku mengikuti workshop UMKM Digital Marketing. Pembicara Michael Say (VP Corporate Affairs Gojek). Aku mencatat beberapa hal darinya. Antara lain, jeli melihat peluang dan cepat memanfaatkan peluang tersebut. Siapa pelanggan kita? Bagaimana kita mau jualan?
Apapun bisnis kita, manfaatkan teknologi. Hemat waktu, tekan biaya, perbaiki layanan, lebih akuntabel, promosi dan penjualan, dapatkan reputasi. Lepas acara, aku mengunjungi stand Aji Jakarta, Aji Lampung, Aji Pontianak, dan stand-stand lainnya. Terima kasih, Festival Media Aji, Jambi 2019. Dan untuk kawan-kawan Aliansi Jurnalis Indonesia. Semoga mengawal kebijakan, agar tetap pada kebenaran dan kejujuran. Sekali lagi terimakasih untuk seluruh Aliansi Jurnalis Indonesia.




Stand AJI Pontianak.


Stand AJI YOGYAKARTA.


Workshop Hutan dan Eksistensi Orang Rimba.


Lelaki berkaos hitam dan orange, kawan dari orang rimba.


Tambah pengetahuan, dari Irma Tambunan dan Robert Aritonang.


Semacam kariaktur sindirian politik.


Pameran foto.


Workshop UMKM dan Digital Marketing.

Kamis, 10 Oktober 2019

Hemat, Murah, Solo, R15, Riau ke Padang, Sumbar, PP.

Suasana Pagi, Masjid Raya Sumatra Barat, Selasa (9/10/2019). 
Foto : Andik Saputra.

Rp.437.000, itulah total biaya perjalananku dari Km7 Sidomukti, Petalongan, Inhil, Riau menuju Padang, Sumbar. Selasa, 8 Oktober 2019. Lepas shubuh, aku dan R15, beserta bekal-bekalnya, berangkat menuju Sumbar. Jarak tempuh sekitar 433 KM. Tujuanku, mengunjungi Masjid Raya Sumatra Barat.
Setelah melewati beberapa wilayah. Belilas, Air Molek, Kuantan Singingi, tibalah aku di Sumbar. Kiri kanan jalan masih banyak hutan. Sebagian wilayah tampak sawah-sawah. Pemandangan yang adem. Karna agak mengantuk, aku berhenti di SPBU. Posisi hampir dhuhur.
Lepas, sembahyang aku melanjutkan perjalanan. Tak berselang lama, R15 ini berjumpa dengan Sitinjau Lauik. Gerimis sudah turun, jalan basah. Oleh karena itu harus pelan-pelan. Setelah melewati beberapa kelokan, jumpalah kami dengan seekor monyet. Cukup besar.
Dia seperti menungguku. Jarak kami semakin mendekat. Dia melompat, tanganku mengegas R15. Selamat. Beberapa detik kemudian, kami jumpa monyet-monyet kecil. Mereka jinak. Gerimis berhenti. Namun, kabut masih membuat dingin.
Setelah kurang lebih 15 km melewati rute Solok-Arosuka-Padang. Kabut dingin pergi. Gerimis datang. Mendung di langit menyembunyikan matahari. Padahal belum ada jam lima sore. Target jam tiga sampai Masjid Raya Sumbar gagal.
Tiba di tempat tujuan, jam setengah enam. Hendak mengambil gambar masjid tak jadi. Lantaran hujan masih turun. Aku berwudhu, kemudian menuju tempat sembahyang. Tak berselang lama, waktu adzan magrib tiba.
Lepas shalat isya’ berjamaah di Masjid Raya Sumatra Barat. Aku duduk, sambil memandangi lampu-lampu yang berubah warna. Selain itu, beberapa kali mata ini memandangi beberapa orang yang berfoto dalam masjid.
Hampir jam sepuluh, aku turun ke lantai bawah. Aku laporan kepada petugas hendak bermalam. Mereka menyuruh memindahkan motor agar lebih dekat. Selanjutnya, meminta tanda pengenal.
Aku sudah berada di lantai atas. Petugas memberikan tikar. Aku membaringkan diri di situ. Sambil mengingat uang yang sudah lewat. Pertamax untuk R15, Rp. 143.000. Makan siang dan sore, Rp. 20.000. Tak lama kemudian aku tidur.
Bangun sebelum shubuh. Aku segera menuju toilet. Terakhir mandi, kemarin shubuh. Lepas mandi dan ganti pakaian. Aku bergegas untuk mengikuti shalat shubuh berjamaah. Sekitar jam enam, aku mengambil tanda pengenal dan helm. Tak lupa, mengucapakan terima kasih.
Dari Masjid Raya Sumatra Barat, aku pindah ke Pantai Padang. Di situ, aku berjumpa warga Afghanistan. Karna belum pandai berbahasa inggris. Aku tak banyak cakap. Setelah mengambil beberapa gambar. Aku bergegas pulang ke Riau.
Aku berhenti di pinggir, salah satu kelokan di Sitinjau Lauik. Sarapan mie rebus, sambil memandangi mobil lewat. Setelah mengambil beberapa gambar. R15, kembali melaju. Sampai di rumah jam Sembilan malam lewat. Pikiranku kembali mengingat, makan pagi, siang dan malam, Rp. 57.000. pertamax untuk R15, Rp. 105.000. Oleh-oleh jajan Sumbar, Rp.73.000. Sisanya, biaya tak terduga, seperti beli minuman di jalan, dan lain sebagainya.
Pastikan, kalau kawan-kawan hendak perjalanan jauh. Tengok kondisi fisik dan keuangan. Fisik sehat atau sedang kurang bagus. Uangpun jangan terlalu sedikit maupun terlalu banyak. Aku membawa uang sekitar Rp. 1.300.00. Selama perjalan jauh, kita tak tahu masalah apa yang akan muncul.
Pastikan kondisi kendaraan sehat. Tengok betul kondisi ban, oli mesin, rantai, rem dan lain sebagainya. Untuk anggaran minyak, habis Rp. 248.000. Jadi, cukup besar kan daripada biaya makan dan lain-lain. Yang tak sampai Rp. 200.000. Kawan-kawan masih bisa menggunakan pertalite atau premium agar lebih hemat.
Tapi, kalau ada teman-teman yang lebih murah dari itu. Dengan posisi jarak lebih jauh, misal dari Jambi, Palembang, Medan, atau kota lainnya. Mantap bro. Satu lagi, kalau ada orang berbuat baik kepada kita. Apa salahnya kita berbagi minuman maupun makanan. Oke. Terima kasih, semoga bermanfaat.





Gapura selamat datang kota Padang.



Sitinjau Lauik menuju Masjid Raya Sumbar.


Suasana dalam Masjid Raya Sumbar.


Pantai Padang.


Sitinjau Lauik arah Riau.

Sarapan di Pinggir jalan.


Jumat, 23 Agustus 2019

Pilkades, Kami Bersiap.

PILKADES, KAMI BERSIAP.


Penyerahan Tanda Peserta, dari Bupati HM Wardan kepada Peserta Bimbingan Teknis Pilkades Serentak, Senin (29/7/2019). Foto : Andik Saputra


Beberapa waktu lalu. Saya dan seorang kawan yang bertempat tinggal di Desa Petalongan, Kecamatan Keritang, Kabupaten Indragiri Hilir. Melakukan perjalanan menuju Tembilahan, Inhil.
Sekitar jam sepuluh kami berangkat. Tiba di Kota Tembilahan, jam dua belasan. Kami singgah ke Masjid Agung Al-Huda Tembilahan. Lepas sembahyang, kami menuju hotel Inhil Pratama. Sebelum memasuki hotel, kami dan seorang kawan yang baru datang. Menuju warung makan yang tak jauh dari hotel. Setelah makan siang. Kami mendaftar sekalian mengambil kunci kamar, hotel Inhil Pratama. Tak lama kemudian, kami sudah berada dalam kamar.
Kalau sudah jumpa tempat nyaman dan sinyal aman. Saya pecandu game online, segera menggerakan jari-jari ke handphone. Sedangkan kawan, rebahan pada kasur berkain putih. Satunya lagi, membaca lembaran kertas.
Singkat cerita hari berganti. Lepas sembahyang shubuh. Kaki ini melangkah menuruni tangga. Tiba di lantai bawah, telapak kaki menuju lantai empat. Saya melakukannya beberapa kali. Tak berselang lama, udara candu game, meresap ke dalam jari-jari tangan.
Mengingat acara, kami menuju lantai bawah untuk mengisi bahan bakar tubuh. Beberapa menit kemudian, kami tiba di aula. Di situ, kami berkumpul bersama puluhan panitia pilkades dari desa lain. Untuk tahun 2019 ini, ada 43 desa dari enam belas kecamatan yang mengikuti pilkades serentak.
Selama dua hari, kami mendapatkan beberapa materi. Kebijakan Pilkades Serentak. Data kependudukan dan Hubungannya dengan Pilkades Serentak Kab. Inhil tahun 2019. Pengawas Pilkades Serentak. Penyusunan Data Pemilih dan Penetapan Data DPS, Daftar Pemilih Tambahan, dan DPT. Pedoman Pelaksanaan Pilkades Serentak. Tahapan dan Penyelenggaraan Pilkades.

Mendaftar dan mengambil kunci kamar.


Suasana kasur dan dinding kamar.


Para Peserta Bimtek Pilkades Serentak.


Mengikat Ilmu.


Aula Hotel Inhil Pratama.

Sabtu, 27 Oktober 2018


Perjalanan dengan Motor Klasik


Suasana konser musik pada acara HCC Jambi, Sabtu 20/10/18 | Foto : Andik Saputra

Perjalanan ke Jambi menggunakan motor klasik. Ternyata memamakan waktu yang tidak sebentar. Kami teman-teman dari Km7 Desa Petalongan, Kecamatan Keritang, Indragiri Hilir Riau. Berangkat Jum’at(19/10/18) lepas magrib.
Trouble cantik mewarnai perjalanan kami. Mau tak mau, kami perbaiki ditepi jalan. Setelah melewati beberapa SPBU, akhirnya tiba di kota Jambi, Sabtu siang(20/10/18). Rintik hujan dini hari menemani tidur kami. Acara HCC Jambi sudah mulai sejak siang hari.

Trouble cantik di wilayah Jambi.

Tempat kami bermalam.

Persiapan berangkat setelah menginap semalam.

Dekat jembatan Batang Hari Jambi.

Ini sudah di tempat acara.
Keadaan di tempat parkir.

Cuci kendaraan bermotor.



Konser dangdut.


Trouble cantik hendak pulang dari acara.

Bantu kendaraan kawan yang mogok.

Rabu, 31 Desember 2014

Geliat Film di Kota Reog

Suasana foto bersama para perwakilan peserta di ruang seminar Universitas Muhammadiyah Ponorogo, Selasa 30/12/14 | foto : Andik Saputra
Festival Film Ponorogo(FEFO) merupakan wadah teman-teman Ponorogo yang menyukai perfilman. Untuk pertama kalinya, dinas pariwisata dan pihak terkait mengadakan acara ini. Prosesnya sejak oktober sampai akhir desember 2014. Mulai dari seleksi naskah, workshop film sampai pemutaran film dan malam penganugrahan karya film. Acara yang diikuti pelajar dan mahasiswa ini, berlangsung di Universitas Muhammadiyah Ponorogo. Para peserta memberi respon yang cukup positif terhadap acara ini.
“Dari kepemudaan, kita punya gagasan teman-teman yang berada di komunitas-komunitas film. Selain itu, kita juga menangkap dari pelajar dan mahasiswa itu pada waktu liburan kok banyak yang membawa kamera. Kalau kami mengadakan fotografer, sudah ada teman-teman wartawan. Oh film, ide ini yang keluar.” ujar Eko Budi Santoso selaku Kasi kepemudaan dinas pariwisata Ponorogo.
Septian Adi Nugroho, sebagai ketua pelaksana acara, mengamini hal tersebut. Acara ini tidak terlepas dari dukungan dinas pariwisata dan pihak terkait. “Yang terlibat paling tinggi kebudayaan pariwisata dan olahraga. Kemudian dari pengonsep acara, ada kota reog media sama dari Himakom. Kota reog media penghubung kita dengan pariwisata.” ungkap mahasiswa jurusan ilmu komunikasi ini.
Catur Sri Utari, salah satu peserta dari perwakilan kampus di Ponorogo. Menganggap acara ini kesempatan yang baik kedepannya. Ia mendapat pengalaman penting dari acara ini. “Semoga budaya dan keteateran Ponorogo, menjadi maju dan kedepannya semakin banyak yang meminati. Semoga FEFO tahun depan lebih baik.” kata siswi yang mengaku hobi teater ini.
Hal senada, juga diungkapkan Maharani Lintang, perwakilan dari salah satu SMA di Ponorogo. Di mana, film yang dibuat Maharani dan teman-teman kelompoknya. Yang berjudul “RITUAL” keluar sebagai film terbaik di Festival Film Ponorogo 2014. Dari acara ini, ia juga mendapat banyak pengetahuan tentang pembuatan film. “Tahun depan dilanjutin aja acara seperti ini. Pasti banyak manfaat bagi mereka yang ingin belajar film.” imbuhnya.
Pada malam puncak acara, 30 september 2014. Ada beberapa kategori yang mendapat penganugrahan. Kategori pemain terbaik adalah Dwi Prabowo. Perwakilan dari SMA 2 Ponorogo. Kemudian, Andik Sukro perwakilan dari Universitas Muhammadiyah Ponorogo mendapat kategori sutradara terbaik. Selanjutnya, perwakilan dari SMA Bakti Ponorogo mendapat kategori film terbaik Festival Film Ponorogo 2014. Semua peserta juga mendapat sertifikat.
Eko berharap, acara ini menjadi reguler atau tiap tahun ada. Ia menambahkan, untuk tahun depan dikembangkan dari komunitas-komunitas sineas Ponorogo yang bermunculan. Baik di kalangan pelajar, mahasiswa maupun organisasi pemuda, kita perbolehkan untuk mengikuti acara ini. Pihaknya punya rencana akan memutar film di beberapa tempat di Ponorogo. “Kalau tahun ini yang dipilih 10 film, tahun depan adalah 17 film. Kita ambil 17 sinopsis terbaik, di workshop, lalu kita buat film.” jelasnya.
Septian berharap hal itu bisa terwujud. “Secara umum, mimpi kita di 17 Agustus 2015. Dapat memutar film-film asli Ponorogo di 17 titik di kabupaten Ponorogo. Jadi perayaan 17 Agustus diramaikan film-film karya anak Ponorogo.” paparnya.
“Mudah-mudahan, dari acara ini, kita bisa menelorkan sineas-sineas muda. Mudah-mudahan ini lho, orang-orang Ponorogo punya potensi. Terutama dari anak-anak muda.” tambah Eko.

Ia juga mengajak para pecinta film di Ponorogo. Bergabung mengangkat Ponorogo lewat kreatifitas. Biar Ponorogo menjadi luar biasa.

Minggu, 08 Juni 2014

Wow, Puluhan Pengusaha Berkumpul di Alun-Alun Ponorogo
Pentas musik dangdut “Laras Nada Songgolangit FM” di panggung utama alun-alun Ponorogo. Salah satu hiburan dalam rangka Bulan Bakti Gotong Royong Masyarakat Ponorogo, Jumat sore(6/6/2014). Foto | Andik Saputra.
Dalam rangka Bulan Bakti Gotong Royong, pemerintah kota Ponorogo mengadakan pameran produk UMKM dari seluruh kecamatan di kabupaten Ponorogo. Acara tersebut berlangsung dari 5 – 7 Juni 2014. Lokasi pameran berada di depan panggung utama alun-alun Ponorogo. Setiap stand menawarkan produk khas asal kecamatan masing-masing. Mulai gethuk Golan di stand kecamatan Sukorejo, dawet jabung di stand kecamatan Mlarak, produk Genting Wringin Anom di stand kecamatan Sambit, aneka produk sayuran dan buah di stand kecamatan Ngebel, Pulung dan Pudak.
Dari sekian stand, kecamatan Balong merupakan kecamatan yang mengajak beramal. Karena 20% dari penjualan produk, akan digunakan untuk program pemberdayaan bagi warga tunagrahita. Lebih tepatnya, Anda membeli Anda beramal. Di stand tersebut, ada beragam produk dari program pemberdayaan warga tunagrahita desa Karang Patihan Balong.
Untuk hiburan bagi pengunjung, mulai pentas musik dangdut sampai parade band ikut memeriahkan acara tersebut. Bagi pengunjung yang melihat hiburan atau masuk area pameran tidak dikenakan tiket masuk alias gratis.
Wajah panggung utama.

Jajaran stand dari kejauhan.

Pengunjung menikmati dawet jabung di stand kecamatan Mlarak. 

Wajah stand kecamatan Balong.

Ada stand salah satu sekolah di Ponorogo. 

Suasana stand UNMUH Ponorogo.

Keramaian pengunjung.

Penampilan band.